Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Islam Dan Kemerdekaan Berpikir

Secara konseptual, kemerdekaan berfikir bisa dilihat dari permintaan Tuhan dalam al-Quran. Kemajuan peradaban barat, ilmu pengetahuan dengan meninggalkan agama, maka Islam mencapai puncak kejayaannya justru dengan ilmu pengetahuan yang lahir dari gairah tauhid. Dalam perspektif historis, abad-abad pertengahan ialah abad-abad yang petang bagi Barat (Eropa) dan abad-abad yang terang di dunia Islam. Pada periode yang kreatif dan dinamis itu, dunia Islam menjadi sentra seluruh dunia beradab.
Gustave Le Bon berkata: “Jika menaklukan sebuah kota, yang pertama dibangun orang Islam ialah masjid dan sekolah.” Dua bangunan ini ialah simbol yang melambangkan betapa generasi pertama itu sudah berfikir jauh ke dunia abstrak. Masjid ialah representasi dzikr dan sekolah ialah simbol dari makna fikr. Paduan serasi dan fakultas inilah yang sudah membentuk dan menjadi pilar peradaban maju ummat Islam. INI yang oleh Iqbal disebut sebagai babak gres kebudayaan Islam yang sudah menampakkan suatu hasrat untuk menemukan rangkaian idea-idea sistematik tetapi suatu dedikasi sepenuh hati kepada kebenaran.
Dalam konteks yang sama, Iqbal menyebut kedua dimensi dengan istilah sumber baku atau kekuatan agama, al-Quran dan hadis dan sumber dinamis yakni ijtihad sebagai kekuatan peradaban. Kedua sumber tersebut ialah sumber pengembangan pemikiran agama dalam Islam. Ijtihad ialah upaya penerapan budi sehat yang kritis dan mendalam untuk memahami kedalaman dan keleluasaan isi kandungan ayat-ayat suci al-Quran dan hadis yang ialah sumber baku. Ijtihad dengan sendirinya spesialuntuk mungkin dilakukan oleh seseorang yang bermental mujtahid dan siap merekonstruksi interpretasi berdasar tuntutan perubahan.
Konsep berfikir dalam Islam yang membuahkan satu warisan terkaya di dalam kultur Islam dan yang pengaruhnya terhadap jalan pikiran orang-orang Barat sangat dalam nampak terperinci dan sanggup bertahan sampai ketika ini, ialah kelanjutan dari pengalaman pemikiran rasionalistis orang-orang Mu’tazilah pada periode ke-2, ke-3 dan ke-4 M.
Mu’tazilah sendiri lahir dari perperihalan antara guru dan anakdidik, Washil Bin Atha dan Hasan Al Basri yang beraliran Murjiah, tetapi sebenarnya ia ialah gerakan reaktif dan respon terhadap kalangan non Muslim yang tidak menyukai Islam. Dalam sejarahnya, perluasan Islam, tidak disertai pemaksaan sesuai pedoman Allah terhadap masyarakat yang ditaklukkan untuk memeluk Islam, dari masyarakat negara non Muslim ini timbul satu golongan yang tidak bahagia dengan kekuasaan Islam dan oleh karenannya ingin menjatuhkan Islam, demikian diungkapkan Harun Nasution.
Bagi Muktazilah, budi sangat tinggi kedudukannya. Mereka tidak mau tunduk kepada arti harfiyah dari teks wahyu yang tidak sejalan dengan pemikiran filosofis dan ilmiah. Mu’tazilah dengan demikian mengambil bentuk simbolis, dalam melaksanakan interpretasi terhadap teks. Wahyu diterima dengan saleh tetapi kebenarannya harus menurut justifikasi akal.
Mereka juga melihat budi mengatakan kekuatan manusia. Akal yang besar lengan berkuasa menggambarkan insan yang kuat, dewasa. Ia insan sampaumur bisa berdiri sendiri, memiliki kebebasan dalam kemauan serta perbuatan serta bisa befikir secara mendalam.
Teologi rasional Mu’tazilah inilah yang membawa pada perkembangan Islam, bukan spesialuntuk fisafat tetapi juga sains pada masa antara periode VIII dan XIII M. Filosof besar pertama yang dikenal ialah al Kindi (796-873 M)18 yang menegaskan bahwa antara filsafat dan agama sama sekali tak berperihalan.
Dalam beberapa hal teologi tradisional Asy’ariah kurang mendorong berkembangnya pemikiran ilmiah dan filosofis. Meskipun demikian tradisi Asy’ari masih belum terlihat deras ketika Al Ghazali (1058-1111 M) masih juga melaksanakan counter terutama lewat Tahafut al Falasifah terhadap pemikiran filosof Muslim beraliran Mu’tazilah.
®
Kepustakaan:
Harun Nasution, Akal dan Wahyu Dalam Islam, (Jakarta: UI Press, 1986). M. Iqbal, Membangun Kembali Pikiran Agama Dalam Islam, (Jakarta: Tintamas, 1966). Anthony Giddens, Kapitalisme dan Teori Sosial Modern, (Jakarta: UI Press, 1986). A. Syafi'i Ma’arif, Peta Bumi Intelektualisme di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1993). Hasan Asari, Menyingkap Zaman Keemasan Islam, Kajian Atas Lembaga-lembaga Pendidikan, (Bandung: Mizan, 1994). Amin Abdullah, Falsafah Kalam di Era Postmodernisme, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995). Fazlur Rahman, Membuka Pintu Ijtihad, (Bandung: Pustaka Salman, 1983).