Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Penguasaan Barang Gadai Berdasarkan Fikih

Gadai bukan termasuk pada komitmen pemindahan hak milik, tegasnya bukan pemilikan suatu benda dan bukan pula kadar atas manfaat suatu benda (sewa menyewa), melainkan spesialuntuk sekedar jaminan untuk suatu santunan piutang, itu sebabnya ulama setuju bahwa hak milik dan manfaat suatu benda yang dijadikan jaminan berada di pihak yang menggadaikan. Murtahin (yang mendapatkan barang gadai) dihentikan mengambil menguasai barang gadai kecuali diizinkan oleh rahin dan barang gadai itu bukan binatang.
Barang gadaian dipandang sebagai amanat bagi murtahin sama dengan amanat yang lain, beliau tidak harus membayar bila barang itu rusak, kecuali lantaran tindakannya.
Ibnu Qudamah dalam kiatbnya al-Mugny mengambarkan bahwa pengambilan kekuasaan dari barang gadai itu mencakup beberapa aspek pada dua keadaan yaitu yang tidak membutuhkan kepada biaya menyerupai rumah, barang-barang dan sebagainya, yang membutuhkan pembiayaan.
Mengenai aturan akseptor gadai dengan manfaat dari barang yang membutuhkan biaya dengan seizin yang menggadaikan yaitu sebanding dengan biaya yang diperlukan. Dari dua serpihan di atas sanggup dijumpai adanya barang bergerak dan barang tetap. Barang bergerak yaitu barang yang dalam penyerahannya tidak membutuhkan akte otentik menyerupai buku dan lain sebagainya. Sedangkan barang tetap yaitu barang yang dalam penyerahannya memerlukan suatu akte yang otentik menyerupai rumah, tanah dan lain-lain.
Jika memperhatikan klarifikasi di atas, pada hakekatnya akseptor gadai atas barang jaminan yang tidak membutuhkan biaya tidak sanggup menguasai barang jaminan tersebut. Bahwa akseptor barang gadai dihentikan menguasai barang gadai an walaupun di izinkan oleh murtahin.
Akan tetapi berdasarkan lebih banyak didominasi ulama, akseptor gadai boleh menguasai dari barang gadai bila sudah diizinkan oleh penggadai, dengan catatan hendaknya hal tersebut tidak disyaratkan dalam akad.
Syariat Islam dalam dilema gadai pada prinsipnya yaitu untuk kepentingan sosial, yang ditonjolkan yaitu nilai sosialnya. Tetapi dipihak lain pada kenyataannya atau prakteknya tidak demikian halnya. Karena di nilai tidak adil, pihak yang punya uang merasa dirugikan, atas dasar lantaran adanya inflasi nilai mata uang. Sementara uang tersebut bisa juga digunakan sebagai modal usaha.
Atas dasar hal-hal tersebut, murtahin boleh menguasai barang gadai sepanjang diizinkan oleh rahin, dan tidak mengarah pada riba yang diharamkan. Yakni murtahin boleh menguasaispesialuntuk sekedar untuk mengatasi kerugian yang dial ami oleh murtahin.
Kemudian perlu diingat pula bahwa dalam santunan piutang, tetap harus ditekankan nilai -nilai sosialnya menyerupai pada prinsip utamanya. Sehingga seandainya yang berpinjaman itu masih belum bisa untuk membayar atau melunasi pinjamannya. Maka tidakboleh hingga ditumpukkan beban yang memberatkan, menyerupai diharuskan ada uang lebih dari uang pokok pinjaman.
®
Kepustakaan:
Ibn Qudamah, al-Mugni Li Ibn Qudamah, (Mesir: Maktabah al-Jumhuriyyah al-Arabiyyah, t.th). Hasbi ash-Shiddieqy, Hukum-hukum Fiqh Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1970).