Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Sejarah Perkembangan Ushul Fikih

Dalam perkembangan ushul fikih, pertama kali dicetuskan oleh as-Syafi’i (w.204 H/819 M) melalui kitab Ar-Risalah-nya itu diikuti oleh ulama-ulama selanjutnya. Kitab Ar-Risalah yang penulisaanya dianggap teologis deduktif itu juga diikuti oleh para Madzhab Mutakallimin (Syafi’iyyah, Malikiyyah, Hanbaliyyah, Muktazilah). Sementara itu Ulama Hanafiyah mempunyai ciri penulisan sendiri yang bersifat induktif-analistis.
Meskipun begitu, baik Ar-Risalah, Madzhab Mutakallimin, maupun Madzhab Hanafi dianggap mempunyai kesamaan paradigma, yakni paradigma literalistik, artinya begitu dominannya pembahasan wacana teks, dalam hal ini teks berbahasa Arab, baik dari segi tata bahasa, sintaksisnya, dan mengabaikan pembahasan wacana maksud dasar dari wahyu yang ada dibalik teks.
Paradigma ini berlangsung sekitar lima era (dari era ke 2 H hingga era ke-7 H), dan gres mengalami perbaikan setelah munculnya Asy-Syatibi (w.790/1388) atau pada abd ke-8 dengan menambahkan teori maqoshid syariah, yakni yang mengacu pada maksud Allah yang paling dasar sebagai pembuat aturan (Syari’). melaluiataubersamaini Demikian, ilmu fiqh tidak lagi spesialuntuk mengacu pada literalisme teks.
Meskipun begitu, berdasarkan Thomas Khun, al-Syatibi tidak melaksanakan pergeseran paradigma (paradigm shift), tapi spesialuntuk melengkapi paradigma usang saja biar tidak terlalu literalistik. Enam Abad kemudian, pertolongan aliran as-Syatibi itu direvitalisasi oleh para pembaharu ushul fiqh modern ibarat Muhammad Abduh (w.1905), Rasyid Ridha (w.1935), Abdul Wahhab Khalaf (w.1956), dan Hassan Turabi dengan merevitalisasi prinsip maslahah.
Teori-teori dan pengembangan ushul fikih dari zaman As-Syatibi hingga masanya Abdul Wahab Khalaf dan kawan-kawannyanya itu dianggap oleh tokoh-tokoh ushul fikih periode Fazlur Rahman, Muhammad Syahrur, Nasr Hamid Abu Zaid, Muhammad Iqbal, Mahmud Muhammad Toha, Abdullah Ahmed an-Naim, Said Ashnawi tidak cukup bisa menjawaban atau kurang cukup bisa dipakai pada konteks kekinian. Bahkan teori maslahah pun dianggap tidak cukup bisa memadai untuk membuat aturan Islam bisa hidup di dunia modern.
Kelompok yang terakhir ini yang kemudian disebut oleh Wael B Hallaq sebagai tokoh pembaharu ushul fiqh atau pengaggas ushul fiqh kontemporer. Menurut Hallaq kelompok ini dianggapnya lebih menjanjikan dan lebih persuasif. Kelompok ini dalam rangka membangun metodologinya yang menghubungkan antara teks suci dan melihat realitas dunia modern lebih berpijak pada upaya melewati makna eksplisit teks dan realitas untuk menangkap jiwa dan maksud luas dari teks.
Ada tiga sample atau tiga tokoh dan teori ushul fikih kontemporer yakni Fazlur Rahman, Nasr Hamid Abu Zaid, dan Muhammad Syahrur. melaluiataubersamaini alasan metodologi ushul fiqh yang dibangun ketiga tokoh tersebut, dalam melaksanakan ijtihad terhadap pemecahan aturan Islam ada kesamaan substantif yakni penekannya pada kontekstualisasi teks yang dibentuk pada masa kemudian untuk realitas ketika ini dalam menafisrkan hukum, meski dengan metode ijtihad yang tidak sama.
®
Kepustakaan:
Amin Abdillah, Madzhab Jogja; Menggagas Paradigma Ushul Fiqh dan Kontemporer, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Press, 2002). Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushulil Fiqh, (Majlisul Ala Al-Indunisi lid Da’watil islamiyah, Jakarta: 1972). Amin Abdillah, “Al-Ta ’wil al-Ilmi: Kearah Perubahan Paradigma Penafsiran Kitab Suci, Al-Jamah, 2001).